Jumat, 16 Januari 2009

Carut-marut penempatan pejabat di SOTK daerah (1)

DI TENGAH persoalan dan tantangan yang semakin kompleks dan berat dalam pelaksanaan pemerintahan, setiap aparat pemerintah dituntut harus bisa bekerja secara profesional. Dalam arti, setiap aparat pemerintah harus menguasai betul bidang pekerjaannya sehingga mampu memberikan pelayanan sesuai harapan masyarakat. Namun selama pelaksanaan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota, ternyata banyak bupati/walikota melaksanakan SOTK terutama dalam penempatan personel tidak berpegang pada profesionalitas.

Setiap kali ada SOTK baru selalu muncul persoalan terutama menyangkut penempatan personel di pos-pos yang ada.

Penempatan pejabat sering tidak memperhatikan latar belakang pendidikan (keilmuan), pengalaman, dan kemampuan pejabat yang bersangkutan. Sehingga muncul persoalan di belakang hari.

Ditolak
Di Pemkot Semarang penataan personel pun tidak luput dari sorotan karena sering terjadi kejanggalan. Misalnya jabatan Sekretaris DPRD (Sekwan) Kota Semarang yang semula dipegang seorang berlatar belakang dokter hewan (drh Gagak Subroto) kemudian berganti ke sesama dokter tetapi dokter umum (dr Abimanyu). Sebelumnya dr Abimanyu menjabat Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Semarang cukup lama.

Tak pelak, kalangan dewan yang nantinya akan "diurusi" Sekwan pun menolak dengan berbagai alasan. Bahwa usulan sekwan dari Pemkot Semarang yang seharusnya tiga namun hanya diajukan satu, menjadi alasan penolakan dewan.

"Karena calon sekwan yang diajukan ke dewan cuma satu calon, maka kami menolaknya. Sama-sama dokternya, tetapi sebelumnya dokter hewan kemudian akan diganti dokter umum atau dokter manusia. Tetapi kami masih belum dapat menyetujui pejabat baru yang dokter umum ini," kata Sekretaris Komisi A DPRD Kota Semarang, Bambang Sutrisno.

Karena belum disetujui DPPRD hingga kini dr Abimanyu sudah menjalankan tugas sebagai Sekretaris DPRD Kota Semarang namun belum definitif.

Penempatan pejabat lainnya dalam SOTK baru di Pemkot Semarang yang kurang pas ialah Kepala Dinas Pendidikan dijabat orang dari Dinas Kebersihan. Selain itu Dinas Kebakaran dipimpin oleh orang yang berlatar pendidikan insinyur pertanian. Bahkan ada pejabat yang harus diperpanjang masa pensiunnya sehingga masih diberi jabatan di Dinas Perhubungan dan Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah.

Penempatan personel yang kurang pas juga terjadi di Pemkab Semarang. Di RSUD Ungaran masih ditempati direktur lama yang mestinya naik eselon. Sementara itu di RSUD Ambarawa ditempati orang lama yang mestinya juga naik eselon.

Kemudian juga banyak kepala seksi yang memiliki golongan lebih tinggi dibanding kepala bidang. Ada lagi ada pejabat yang tadinya staf langsung naik menjadi kepala bagian (Kabag). Yang lebih memprihatinkan lagi seorang insinyur tenaga teknik mesin yang semula di Disnaker malah masuk ke Bagian Keuangan.

Sedangkan di Pemerintahan Kabupaten Pekalongan penempatan personel pada SOTK baru masih diwarnai nuansa politis dan kedekatan. Nuansa poltis ini pun diakui Sekda Pemkab Pekalongan, Ir Susiyanto MM. "Nuansa politis masih ada, namun tidak dominan. Penempatan bersifat normatif," terang Susiyanto.

Ada pula pejabat di daerah justru diambilkan dari pusat yakni di Kabupaten Banyumas. Pada SOTK bulan Juli 2008 lalu, Bupati Banyumas Mardjoko menarik Rasono AK MSi, Kepala Bagian Tata Usaha (TU) perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan DKI, untuk menduduki Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD).

Hak interpelasi
Pihak yang kali pertama dan paling keras dalam menanggapi carut-marut penataan personel di beberapa pemerintah daerah ialah kalangan DPRD. Sampai-sampai kalangan anggota DPRD Kabupaten Semarang akan menggunakan hak interpelasi terkait penataan SOTK baru di lingkungan Pemkab Semarang. Pasalnya, penempatan personel dalam SOTK baru ini dinilai semrawut, tidak sesuai ketentuan normatif yang ada.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Semarang, H Bambang Kusriyanto mengatakan dalam penataan SOTK baru tidak melibatkan badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (Baperjakat). Sehingga penataannya terkesan hanya asal asalasalan saja. "Banyak anggota dewan menerima keluhan dari PNS karena mereka ditempatkan pada posisi atau jabatan yang tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Untuk promosi eselon II mestinya provinsi tidak asal menyetujui," ujarnya. bersambung/Uly/rbd/haw-Ct (Wawasan, 15 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut