Sabtu, 17 Januari 2009

Carut-marut penempatan jabatan di SOTK daerah (3-habis)

Pejabat baru perlu diberi waktu

DILIHAT dari fakta yang ada dari penataan SOTK baru di berbagai daerah memang sempat memunculkan nada pesimistis. Namun sebenarnya tidak semua harus demikian. Artinya perlu dikedepankan pula rasa optimistis dalam hal ini. Bahwa penataan SOTK ditujukan untuk perbaikan sistem pemerintahan, sehingga pelayanan terbaik kepada masyarakat akan terwujud.

Sebab menurut pakar Administrasi Publik Undip, Drs Ali Mufiz MPA, yang juga mantan Wakil Gubernur dan Gubernur Jateng periode 2003-2008 adanya SOTK, merupakan tindak lanjut dari PP 38 dan PP 41 tahun 2007, sebagai pelaksanaan UU 32/2004 tentang otonomi daerah. PP 38 berisi tentang pembagian urusan pusat dan kabupaten, sedangkan PP 41 menyangkut kelembagaan di semua daerah.

Pemerintah daerah harus berhadapan dengan dua kenyataan, yakni wajib sekaligus pilihan untuk melaksanakan SOTK. Wajib karena ada aturan yang harus dilaksanakan. Pada sisi yang lain, pilihan merupakan hak pemda setempat karena sudah ada penataan sebelumnya dalam struktur pemerintah masing-masing.

Ali Mufiz menguraikan, dalam mewadahi tugas pada penataan SOTK tersebut, ada sejumlah pertimbangan, antara lain kebutuhan daerah, kemampuan, ketersediaan sarana dan prasarana, dan cakupan tugas di daerah yang bersangkutan. Selain itu, kondisi geografis dan potensi yang dimiliki daerah tersebut. ”Setiap daerah tidak harus sama karena kebutuhan serta cakupan tugas yang berbeda,” ujarnya.

Yang perlu dipahami, kata dia, bahwa UU sektoral masih berlaku. Misalnya, terkait pemuda dan olahraga dengan keluarnya UU tentang Pemuda dan Olah Raga. Alhasil, UU mengamanatkan, Pemuda dan Olahraga harus memiliki Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tersendiri. Selain itu, ada hal-hal teknis yang harus diakomodasi, misalnya penyuluh KB atau Badan Narkotika yang sesuai UU sektoral harus terakomodasi dalam SKPD.

Padahal, penataan itu juga tidak serta merta berawal dari nol. Paska keluarnya aturan SOTK, pemda telah memiliki penataan tugas yang excited. Akan tetapi, penataan itu tetap harus dilakukan dengan tetap mengakomodasi SDM yang ada. Namun, di sini juga letak tantangan dari pemda dalam penataan personel serta aset dan fasilitas yang ada.

Ali Mufiz mencontohkan, pengalamannya dalam melakukan penataan SOTK di tingkat provinsi yang berlangsung pada pertengahan 2008 silam. Dia mengemukakan, pihaknya sebelum menentukan pejabat baru telah menyusun Baperjakat yang bertugas melakukan penelitian terhadap para pejabat yang akan menduduki SKPD yang baru. Dia memberikan poin penting dalam penyerahan tanggung jawab itu, yakni kepercayaan. ”Berangkat dengan kepercayaan, beri kesempatan 2 sampai 3 tahun, baru dilakukan penyempurnaan bagi pejabat baru,” katanya.

Psikologis
Dia menyadari, personel yang terkena proses penggantian SOTK itu pada awal kerjanya mereka pasti akan mengalami kendala psikologis dan fisik, yang membutuhkan penyesuaian. Bukan saja dengan lingkungan orang-orang yang baru, namun juga fasilitas yang mereka hadapi.

Mufiz tidak menampik adanya asumsi pertimbangan akademik dalam penentuan penempatan SKPD tersebut. Misalnya, pejabat untuk Dinas Pekerjaan Umum (DPU), harus lulusan teknis dengan gelar ke-insinyur-annya. Boleh jadi, semua memang sepakat dengan hal itu.

Akan tetapi, pemda juga harus mempertimbangkan aspek kemampuan manajerial yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan. Selain itu, aspek administratif menyangkut tingkat golongan, riwayat pekerjaan, kemampuan atau kinerja, dan aspek moralitas. ”Tidak sepenuhnya pertimbangan latar belakang pendidikan menjadi dasar utama penentuan SKPD," imbuhnya.

Lintas sektoral
Kendati berpesan agar SOTK dilihat case by case, Mufiz mengakui keraguannya apakah aturan itu akan selamanya bisa dilaksanakan. Pasalnya, aturan ini menutup celah kemungkinan terjadinya manuver atau perpindahan lintas sektoral bagi PNS dalam tingkat pemerintahan yang berbeda baik vertikal maupun horisontal.

Padahal, Indonesia sebagai negara kesatuan semestinya memiliki celah agar ada kesempatan bagi warganya untuk memiliki kesempatan secara vertikal dalam jenjang karir mereka. "Misalnya saja ada potensi di sebuah kabupaten yang bisa dimanfaatkan oleh kabupaten lain, atau seterusnya pada tingkatan di atasnya, sehingga pandangan bisa menjadi lebih luas, dan birokrasi tidak menjadi miop atau seperti katak dalam tempurung," pungkasnya.

Seharusnya, peraturan harus memberikan kesempatan kepada PNS yang potensial untuk berkembang semaksimal mungkin. Misalnya ada PNS di daerah yang potensial harus bisa meningkatkan atau mengembangkan potensinya di pemerintah provinsi (manuver vertikal). Atau PNS di daerah satu bisa bermanuver horisontal yakni mengembangkan potensi di daerah lain karena di tampatnya sudah tidak memungkinkan untuk berkembang. "Jadi penempatan pejabat tidak harus dari PNS setempat. Tetapi dengan catatan tidak ada PNS setempat dinilai tidak ada yang kapabel menempati jabatan tertentu sementara di PNS daerah lain ada, maka bisa saja diambil," tandasnya. rth-yan (Wawasan, 17 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut