Senin, 13 Juli 2009

SBY, sihir pencitraan, & matinya politik aliran

ADA yang menilai cengeng, ketika beberapa hari menjelang pilpres, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku terkena ilmu sihir, yang kemudian berhasil dilawannya dengan zikir. Sebenarnya itu bukanlah sebuah kecengengan. Dari kacamata strategi komunikasi, SBY tengah menerapkan bagian dari ’’sihir” public relations (PR). Termasuk ketika kubu Cikeas berkali-kali menyatakan telah dikeroyok oleh lawan-lawan politiknya. Padahal koalisi partai pendukung SBY-Boediono jelas jauh lebih besar dibanding partai pendukung Mega-Prabowo maupun JK-Wiranto.

Harus diakui, hasil sementara Pilpres 2009 yang menempatkan pasangan SBY-Boediono unggul mutlak dibanding dua pasangan pesaingnya, tidak terlepas dari ’’sihir” PR yang dirancang dengan sangat cerdas dan dilakukan jauh sebelum pelaksanaan Pilpres 8 Juli 2009. Kinerja konsultan media dan politik, Fox Indonesia, sebagai konseptor dan pelaksana ’’sihir” kubu SBY-Boediono memang layak diacungi jempol.

Berbagai kegiatan pencitraan yang dilakukan SBY maupun iklan-iklan kampanye yang ditebar melalui media media cetak, elektronik, spanduk, selebaran, baliho, dan lain-lain, sungguh telah melahirkan ’’sihir” nan dahsyat terhadap seluruh lapisan masyarakat. Bahkan ’’sihir” itu bersifat lintas usia, suku, agama, golongan, dan partai politik.

Strategi Fox Indonesia yang notabene hanya ’’menjual” dan ’’mengeksploitasi” sosok SBY sebagai magnet utama selama masa kampanye pilpres, tampaknya merupakan pilihan tepat dan cerdas. Kepintaran, kegagahan, dan kewibawaan SBY di sempurnakan dengan jurus-jurus PR yang mengatur segala aspek, mulai dari cara tersenyum, gerak tangan, warna baju, nada bicara, intonasi pada kalimat-kalimat tertentu, setting panggung, sampai atribut-atribut kampanye. Semua sisi tak lepas dari konsep untuk membangun sebuah pencitraan yang diinginkan. Sementara kedua pasang pesaingnya cenderung apa adanya, dan hanya mengandalkan pada kekuatan ideologi, faktor loyalitas, dan isu-isu kampanye yang masih meragukan di mata publik.

Dalam kultur masyarakat kita yang cenderung ’’melodramatik”, faktor pesona outlook dari sosok calon memang masih dominan dalam menentukan pilihan. Faktor psikososial lain juga ikut mendukung, antara lain karakter masyarakat kita yang tidak mau mengambil risiko dengan pilihan pemimpin baru. Maka, meskipun kinernya belum memuaskan, seorang incumbent cenderung cenderung dipilih lagi, asal dia tidak "neka-neka".

Ditambah lagi dengan konsep-konsep iklan di segala jenis media yang begitu menyentuh dan persuasif. Maka pantas saja jika untuk hasil kerja yang sangat profesional itu Fox Indonesia dikabarkan mendapatkan dana tak kurang dari Rp 200 miliar. Dan harus diakui, secara pribadi SBY sendiri memang memiliki bakat yang tinggi dalam bersolek di depan media.

Maka kemenangan sementara ini sudah menjadi bukti akan kemenangan politik pencitraan dibanding politik aliran atau ideologi yang lebih mengandalkan dukungan dari basis massa dan pilihan berdasar emosionalitas.

Sihir PR
Meski jurus "sihir" yang dilakukan Fox Indonesia merupakan hal baru dalam kompetisi politik di Indonesia, namun ilmu "sihir" public relations sudah lama ditulis oleh Edwad L. Bernays dalam buku klasiknya "The Father of Public Relations" dan "Propaganda". Bagaimana melakukan kontrol terhadap massa, merekayasa persetujuan dengan massa, memanipulasi massa secara cerdas dan sadar, serta membentuk opini publik, merupakan teknik yang mutlak harus dikuasai oleh tim sukses calon yang berkompetisi dalam politik.

Dari aspek ketokohan yang berbasis pencitraan (image building), kubu SBYBoediono terbukti jauh lebih unggul dibanding dua pasangan pesaingnya yang lebih mendasarkan pencitraan pada basis isu, seperti Mega-Pro dengan ekonomi kerakyatan dan JK-Win dengan kemandirian bangsa serta kecepatan.

Strategi pencitraan yang cerdas dan komprehensif rancangan Fox Indonesia terbukti ampuh. Sosok SBY dilukiskan sebagai tokoh yang benar-benar ideal. Ia sederhana, datang dari rakyat kebanyakan, pemimpin keluarga yang berhasil, penuh prestasi, diakui dunia, santun, jujur, dan mengabdi tanpa memperkaya diri. Begitu pula dengan pelukisan terhadap sang cawapres, Boediono.

Maka tak mengherankan jika hasil survei "exit pool" Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan pasangan SBY-Boediono mendapat dukungan terbesar dari lima suku bangsa di Indonesia. Pemilih yang berasal dari suku Minang (86%), Bugis (28%), Sunda (65%), Jawa (64%), dan Melayu (62%). Sedangkan pasangan Mega-Pro mendapat dukungan pemilih dari suku Jawa (32%), Melayu (28%), Sunda (27%), Minang sekitar 6%, dan Bugis sekitar 2%. Pasangan JK-Win mendapatkan dukungan pemilih dari suku Bugis (70%), Melayu (14%), Minang (9%), Sunda (8%) dan Jawa (7%).

Sedangkan pilihan capres/cawapres menurut wilayah agama, pasangan SBY mendapat dukungan dari Islam sekitar 62%, Kristen 52%, Katolik 48%, dan Hindu 46%. Pasangan Mega-Pro lebih besar mendapat dukungan dari agama Hindu sekitar 53%, Katolik 46%, Kristen 42%, dan Islam sekitar 24%. Selanjutnya, pasangan JK-Win mendapat dukungan dari pemilih Islam 13%, Kristen 6%, Katolik dan Hindu masingmasing hanya 1%.

Perlu diketahui, "exit poll" merupakan sistem survei untuk mengetahui keterpilihan pasangan capres/cawapres dengan cara mewawancarai sebagian dari pemilih yang baru selesai menggunakan hak pilihnya di setiap tempat pemungutan suara (TPS). Dengan demikian, "exit poll" tidak hanya menampilkan angka statistik, tetapi juga berusaha menampilkan profil dari pemilih mulai dari alasan memilih, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan jenis kelamin pemilih.


Matinya politik aliran
Selain "sihir" pencitraan, sisi lain yang layak dicatat dari "kemenangan" SBY-Boediono adalah fenomena terjadinya pergeseran, bahkan kematian politik aliran. Dalam kultur masyarakat kita, politik aliran merupakan salah satu bentuk dari politik primordial. Dalam arti, sikap atau perilaku politik tumbuh dan hidup dari keyakinan keagamaan seseorang.

"Pakem" yang selama ini dipercayai menyebutkan adanya dua tema yang dikotomis, yakni santri (keagamaan/Islam) dan nasionalis. Sejak tahun 1950-an, kaum santri membentuk dan mendukung partai-partai Islam, seperti Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi. Sedangkan kaum abangan membentuk dan mendukung partai-partai "nasionalis", seperti PNI dan PKI.

Dalam konteks saat ini, dua aliran dikotomis itu jelas tidak pas lagi. Yang mungkin tepat adalah "partai-partai Islam" dan "partai-partai sekuler". Meski menjelanbg pilpres, masih ada upaya-upaya untuk menegaskan eksistensi politik lairan, meski ternyata tidak laku lagi. Lihat saja penolakan Amien Rais terhadap Boediono sebagai cawapres bagi SBY.

Menurut Amien, pemasangan SBY dan Boediono bertentangan dengan "pakem klasik" politik Indonesia, yakni komposisi Islam-nasionalis, dan faktor Jawa-luar Jawa. Demikian juga dengan reaksi keras sejumlah petinggi PKS yang menilai pemilihan Boediono tidak sesuai dengan aspirasi politik umat (Islam).

Ditinjau dari aspek politik aliran, sesungguhnya pasangan JK-Wiranto yang paling ideal. JK dinilai lebih merepresentasikan aspirasi umat Islam, karena pernah menjadi aktivis HMI dan dikenal dekat dengan kalangan NU maupun Muhammadiyah. Belum lagi ditunjang dengan istri JK dan istri Wiranto yang keduanya berjilbab. Dari faktor Jawa-luar Jawa serta sipil-militer pun, pasangan JK-Win tampak ideal. Namun hasil sementara Pilpres 2009 telah menunjukkan sebuah kenyataan politik yang barangkali di luar ekspektasi banyak orang. Pakem klasik politik negeri ini telah menunjukkan perubahan secara pasti.

Politik aliran, bahkan ideologi, tidak lagi bisa dijadikan patokan. Kegesitan Jusuf Kalla bergerilya di kantong-kantong massa Islam selama masa kampanye pilpres seolah sia-sia saja. Meski tak bisa dipungkiri faktor fragmentasi di internal Partai Golkar juga memberikan andil cukup besar dalam mengantar keterpurukan pasangan "Nusantara" tersebut.

Harus diakui, deideologisasi partai politik sudah terjadi sejak Orde Baru berkuasa. Dan kini, hasil sementara Pilpres 2009 telah menjadi bukti akan matinya, atau minimal tidak relevannya lagi, politik aliran serta politik primordial di negeri ini.

Namun sudahkah kita mulai memasuki era kedewasaan berdemokrasi, yang ditandai dengan pilihan rasional, objektif, dan cerdas? Masih harus kita buktikan, apakah pilpres kali ini benarbenar berlangsung secara luber dan jurdil.
(Wawasan, 13 Juli 2009)

Pengikut