Rabu, 04 Februari 2009

Pendekar Tiongkok di Tanah Jawa (2-Habis)


Saling Pengaruh Silat dan Kungfu

SM/Rukardi LAHIR DI SEMARANG: Khong A Djong, pendekar kungfu yang lahir di Kampung Gabahan Lengkong Buntu, Semarang. (65)
SEPENINGGAL Louw Djing Tie, muncul pendekar-pendekar muda kungfu dengan penguasaan ilmu yang cukup tinggi. Mereka kebanyakan para singkek dan pernah menimba ilmu pada perguruan-perguruan kungfu di daratan China, antara lain Lo Ban Teng, Djie Siauw Foe, dan Khong A Djong.

Lo Ban Teng lahir di Cio bee, Hokkian pada 1886. Dia murid Yoe Tjoen Gan yang beraliran siauw lim ho yang pay. Saat remaja, Ban Teng pernah berlayar ke Semarang dan tinggal di Kampung Selan. Namun, lantaran tak punya pekerjaan jelas, dia pulang ke negeri asalnya.

Pada 1927, lelaki dengan bekas luka di dahi itu kembali datang ke Semarang. Terpikat gadis bernama Go Bin Nio, Ban Teng memutuskan tinggal menetap.

Pada 1931 Ban Teng pernah menyelenggarakan tjing pie say atau demo untuk mencari jawara kungfu. Acara itu digelar di tiga kota, yakni Semarang, Solo, dan Yogyakarta.

Di panggung, dia menempelkan poster-poster provokatif bertuliskan, "bwee pa, tju li lay" (kalau mau coba, silakan muncul), "kia sia em tang lay" (kalau takut mati, tidak usah datang), dan "pa sie ka tie tay" (kalau kena serangan maut, urus sendiri kuburan anda).

Namun, perhelatan itu tak beroleh respons dari para pendekar di Tanah Jawa.
Djie Siauw Foe seorang pendekar asal Shan Dong. Dia mendapat tempat terhormat di kalangan pendekar-pendekar dari utara.

Atas undangan sahabatnya Wang Zhi Jiu, Siauw Foe bersama sejumlah pendekar dari utara lainnya datang ke Batavia pada sekitar 1925. Dia kemudian memutuskan diri menetap di Semarang, tepatnya di Kampung Pederesan Kecil. Di tempat itu Siauw Foe mengajarkan ilmu bela diri yang dimilikinya. Pada tahun 1970-an, dia meninggal dunia.

Sedangkan Khong A Djong lahir di Kampung Gabahan Lengkong Buntu, kawasan Pecinan Semarang pada 10 Oktober 1896. Pada usia enam tahun, A Djong dititipkan orang tuanya kepada seorang paman yang tinggal di Kota Nam Hai, Kwang Tung.

Di negeri besar itu, dia belajar kungfu di Siao Liem Sie, perguruan masyhur tempat para pendekar kungfu terbaik Tiongkok menuntut ilmu. Gurunya Siong Mao, murid pendekar legendaris Wong Fei Hung.

Di perguruan yang menelurkan Bruce Lee itu, A Djong mempelajari dua aliran kungfu, yakni siau liem dan nggo mbie paei. Siau liem adalah aliran kungfu dari Tiongkok Selatan yang mengutamakan pertarungan tangan kosong jarak jauh, sedangkan nggo mbie paei berasal dari Tiongkok Utara yang mengedepankan pertarungan tangan kosong jarak pendek.

Konon, A Djong pernah memenangi kejuaraan kungfu gaya bebas di daratan Tiongkok (baligay) tujuh kali berturut-turut. Sebagai hadiah, dia menerima rompi yang terbuat dari kulit macan asli (fu bei sam).

Setelah 27 tahun belajar kungfu di Tiongkok, A Djong dipanggil orang tuanya pulang ke Semarang untuk menikah dengan seorang gadis tetangga dari Kampung Gabahan Lengkong Buntu, Auw Yang Ien Nio.

Punya tanggungan keluarga, A Djong bekerja apa saja. Dia juga memanfaatkan kemampuan bela dirinya untuk melatih dan menggelar pertunjukan kungfu di tempat umum.

Salah satu muridnya adalah anggota keluarga Mayor Gedonggulo. Sebelum sakit dan meninggal pada 22 September 2008, Khong A Djong masih bekerja. Dia membuka praktik penyembuhan patah tulang di rumahnya Jl MT Haryono.

Berebut Pengaruh

Rimba persilatan adalah dunia yang keras. Para pendekar itu acap terlibat perselisihan untuk memperebutkan pengaruh. Selain antarpendekar kungfu, perselisihan juga kerap terjadi dengan pendekar-pendekar silat lokal.
Tak jarang perselisihan diselesaikan melalui pertarungan.

Dalam tradisi persilatan, mereka bertarung di sebuah arena yang telah disiapkan. Siapa yang menang, dialah yang mendapat pengaruh.
Namun seringkali pertarungan terbuka itu terendus aparat hingga urung dilaksanakan.

Di luar perselisihan, dunia persilatan juga diwarnai saling pengaruh ilmu beladiri. Umumnya yang terjadi adalah pengaruh kungfu terhadap silat. Satu contoh paling tipikal mengenai hal itu adalah pengaruh aliran siauw liem sie dalam perguruan silat Perisai Diri.

Alkisah, dalam salah satu periode hidupnya, RM Soebandiman Dirdjoatmodjo—guru besar sekaligus pendiri perguruan silat Perisai Diri—pernah berguru kepada Yap Kie San di Parakan, Temanggung.

Perlu diketahui, Yap Kie San adalah salah seorang cucu murid Louw Djing Tie, dari Hoo Tik Tjay alias Bah Suthur. Tak tanggung-tanggung, proses merguru itu dilakukan selama kurang lebih 14 tahun.

Menurut Lauw Tjing How, salah seorang keturunan Louw Djing Tie, Soebandiman alias Pak Dirdjo termasuk satu dari enam murid yang sanggup menamatkan pelajaran Yap Kie San. (Rukardi-65)(Suara Merdeka, 25 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut