Rabu, 04 Februari 2009

Pendekar Tiongkok di Tanah Jawa (1)


Sebarkan Sikap Rendah Hati kepada Semua Orang

SM/Rukardi BERDOA: Seorang warga berdoa di depan makam Louw Djing Tie di bukit Menden, Parakan, Temanggung. (57)
Pada masa lalu, pendekar-pendekar asal Tiongkok pernah berkiprah di Tanah Jawa. Bagaimana sepak terjang mereka? Berikut laporannya.

BONG bundar di puncak bukit Menden, Parakan, Temanggung, itu terlihat renta. Beberapa bagiannya rusak dan berlumut. Setumpuk batu-bata tertata rapi di depan epitaf. Bagi awam, makam yang menghadap ke Gunung Sindoro-Sumbing itu tak punya nilai apa-apa. Tapi warga Tionghoa Parakan amat memuliakannya.

Itulah makam Louw Djing Tie, tokoh yang dipercaya sebagai pendekar yang pernah malang-melintang dalam rimba persilatan di Tanah Jawa. Konon, semasa hidup dia disegani, baik oleh kawan maupun lawan-lawannya. Meski memiliki kemampuan bela diri kunthauw (kungfu) yang tinggi, dia dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Djing Tie disebut-sebut sebagai wu lin meng zhu, atau yang teragung di rimba persilatan.

Sejauh ini tidak ada catatan sahih mengenai kehidupan Louw Djing Tie.
Kisah-kisah mengenai dirinya lebih banyak bersumber dari cerita tutur. Terkadang kisah itu dibumbui mitos. Pemerhati budaya Pecinan Parakan, Sutrisno Murtiyoso memaparkan, Louw Djing Tie seorang singkek kelahiran Haiting pada 1855. Dia terlahir dengan perangai keras dan pemberani. Hampir setiap hari ia terlibat perkelahian dengan anak-anak sebayanya. Sebuah peristiwa kecil membawanya mengenal lebih jauh ilmu bela diri kungfu.

Alkisah, Djing Tie kecil yang geram dengan ulah seorang bikhu pengemis melemparnya dengan batu. Bikhu yang kerap menggunakan kekerasan saat meminta-minta itu marah dan mengejarnya. Djing Tie lari dan terdesak ke sebuah kedai di jalan buntu. Untung dia diselamatkan seorang juru masak tua dari kedai itu.

”Sejak peristiwa itu, Louw Djing Tie jadi lebih dewasa. Dia mulai berlatih kungfu di salah satu perguruan di desanya. Tak merasa puas, Djing Tie melanjutkan belajar ke kuil shaolin, kepada bikhu Biauw Tjin dan suhu Kang Too Seng,” kisah Sutrisno.

Suatu ketika, pemerintah setempat mengadakan seleksi guru kungfu untuk menjadi pelatih tentara. Louw Djing Tie bersama adik seperguruannya, Lie Wan turut serta. Lie Wan mendapat giliran menantang seorang guru kungfu dari Shan Dong yang telah mengalahkan empat penantang. Pertarungan berjalan seru dan seimbang. Namun pada sebuah kesempatan, Lie Wan terancam. Tak ingin adik seperguruannya celaka, Djing Tie spontan naik ke panggung dan melancarkan serangan telak ke bagian terlarang lawan. Akibatnya fatal, guru kungfu dari Shan Dong itu cidera parah, sebelum akhirnya meninggal.

Sadar telah melakukan kesalahan besar, Djing Tie disertai Lie Wan melarikan diri. Tak tanggung-tanggung, mereka hijrah ke Singapura. Hanya beberapa bulan, Djing Tie memutuskan berlayar ke Jawa. Mula-mula dia tinggal dan berdagang di Batavia, namun karena tak beroleh keuntungan, Djing Tie pindah ke Semarang. ”Sepanjang hidupnya, Louw Djing Tie menyesali perbuatannya yang tak kesatria itu,” ujar Sutrisno.

Di Semarang, Djing Tie berdagang sambil tetap berlatih kungfu. Beberapa warga yang melihat dia berlatih terpukau sebelum akhirnya berguru kepadanya. Perlahan-lahan kepiawaiannya berkungfu menjadi buah bibir masyarakat. Be Khang Pien, pendekar yang bekerja sebagai keamanan di kediaman Kapten China Semarang Be Ing Tjoe di Kebondalem, pun merasa penasaran.

Be Khang Pien ingin menjajal kemampuan ilmu bela diri Djing Tie. Dia mengajukan tantangan. Mula-mula Djing Tie enggan melayani. Namun karena terus dipaksa, dia terpaksa menerima tantangan itu. Dengan disaksikan sejumlah orang, mereka bertarung. Setelah sekian lama, Djing Tie memiliki kesempatan menghantam lawan. Namun, pendekar yang rendah hati itu enggan melakukannya. Dari sana Be Khang Pien tahu Djing Tie bukan orang sembarangan. Tak hanya hebat, dia juga rendah hati. Menyadari hal itu, Be Khang Pin kemudian menjalin persahabatan dengan Djing Tie.
Pindah ke Parakan
Suatu hari seorang kenalan mengajak Djing Tie mengajar kungfu di Ambarawa. Setelah itu dia juga melakukan hal sama di Wonosobo. Saat berada di kota berhawa sejuk itu, Djing Tie beroleh tawaran untuk bertarung dengan harimau di Parakan. Awalnya enggan, namun atas desakan seorang kawan, dia menyanggupi tantangan itu. Terlebih dengan iming-iming bayaran tinggi.
”Tapi acara gila itu tak pernah terlaksana. Sebab aparat keamanan Belanda keburu melarangnya,” kata Sutrisno.

Djing Tie selanjutnya memilih bermukim di Parakan. Dia mengajar ilmu bela diri kepada sebuah keluarga juragan tembakau di kota itu. Warga menyambutnya dengan baik. Namun The Soei, seorang guru kungfu di daerah itu merasa ingin menguji kehebatan Djing tie. Tantangan itu dilayani. Maka waktu yang telah ditentukan, mereka mengadu kehebatan.

Menurut Sutrisno, untuk menghindari jatuhnya korban, mereka mengganti senjata tajam dengan sebatang kuas yang ujungnya dicelup tinta cina. Kedua jagoan itu saling menyerang, tusuk-menusuk secara bergantian. Djing dapat mendesak The Soei. Berkali-kali dia berhasil menorehkan ujung kuasnya ke daerah berbahaya di bagian tubuh The Soei.

Kalau mau, barangkali Tubuh The Soei sudah penuh bercak-bercak tinta. Namun seperti halnya saat bertarung melawan Be Khang Pien, Djing Tie enggan banyak-banyak menusukkan ujung kuasnya. Pertarungan itu dinyatakan seri, namun The soei yang tahu keadaan sebenarnya menjadi sangat hormat pada Djing Tie dan menjadi sahabat baik.

Diusia tuanya dia memiliki banyak murid dan tak pernah bosan menularkan ilmu beladirinya. Salah satu murid terakhir sekaligus kesayangan Djing Tie adalah Hoo Tik Tjay alias Bah Suthur. Dialah yang merawat Djing Tie di usia tua hingga meninggal dunia. (Rukardi-46)(Suara Merdeka, 24 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut