Sabtu, 24 Januari 2009

Capgomeh

PENDAHULUAN

Hari Raya Capgomeh, sebagai akhir dari serangkaian Hari Raya Tahun Baru Imlek, tahun ini jatuh pada tanggal 9 Pebruari 2009. Capgomeh sebagai bagian terpenting dan titik klimaks dari pesta agama yang oriental (bersifat ke timuran). Hari Raya Imlek dan teristimewa Capgomeh sejak abad ke 19 sampai perang dunia ke II pecah, boleh dikatakan telah menjadi pesta rakyat semua golongan. Bahkan keadaan demikian itu sampai tahun 1955 di Bogor, Sukabumi, Jakarta Kota, Jatinegara mau pun Tangerang masih terlihat sebagai pesta agama yang merakyat menjadi milik semua golongan. Orang-orang yang berusia di atas 55 sampai 65 tahun tentunya dapat banyak bercerita tentang pesta agama yang nyaris menjadi pesta rakyat itu.
Walau pun Capgomeh sebagai titik klimaks pesta Tahun Baru Imlek di Semarang sudah jarang dirayakan, tetapi tentu tidak salah jika kita mengintip sejenak sebagai “kuriosita” (sebagai keingintahuan) saja, mumpung belum dimuseumkan.

HARI RAYA TIMUR PURBA
Hari Raya Tahun Baru Imlek yang jatuh pada tanggal 26 Januari 2009 merupakan Hari Raya Agama Paleo-oriental (Timur Purba) yang berazaskan pada mite dan kosmogoni (kepercayaan tentang penciptaan alam semesta berserta seluruh isinya oleh Tuhan Yang Maha Esa). Paleo-orientalisme itu universal, merupakan kepercayaan dan agama yang dianut di dunia lama yang bersifat Asiatic dan Oceanic sekaligus. Namun di banyak bagian dunia lama itu kemudian menyimpang, maka kepercayaan dan agama yang pada mulanya berazaskan mite dan kosmogoni itu sekarang hanya tinggal dan terdapat di Asia Timur dan tercecer di kawasan Pasific.
Maka Hari Raya Tahun Baru Imlek ini merupakan perayaan yang memperjuangkan atau berusaha mengarah untuk bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa berazaskan mite dan kosmogoni sebagai “Kejadian” (Genesis) dan “Realita Suci” yang diakui. Hari Raya Tahun Baru Imlek atau biasa disebut Sincia merupakan Pesta Awal Musim Semi yang mengandung semua anasir pergantian tahun. Pesta Tahun Baru ini juga merayakan hidup kembalinya alam semesta, yang sebelumnya dalam keadaan mati selama musim dingin yang gelap dan suram itu, yang seolah-olah mendapat jiwa yang baru, maka umat Tuhan merasa girang, dan kegirangan itu yang menjadi asal-usul Perayaan Tahun Baru oleh bangsa Tionghoa.
Hari Raya Tahun Baru bukan merupakan Hari Lahir yang historik nostalgis yang mengenang kejadian sejarah, tetapi merupakan reaktualisasi kejadian Cosmogony Mytical (Pembabaran Jagad Raya) yang bertujuan untuk mendapatkan pembebasan, pembetulan, penertiban, penyembuhan, pensucian, permurnian, peremajaan dan pembaharuan yang kita ringkas saja artinya menjadi “Kembali pada yang orisinil”. Yang orisinil (asli) itu tidak lain ialah “Awal mula dan Asal usul” yaitu Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.
Maka yang menciptakan Hari Raya Tahun Baru itu bukan manusia tetapi Tuhan sendiri yang menjadi arkhitekNya, sedangkan Pembabaran Langit dan Bumi itu merupakan penjabaran denahNya yang dipakai untuk landasan Hari Raya Tahun Baru, bahkan merupakan pedoman tata krama dan agama Timur yang melibat, melingkupi dan mengatur segala kebutuhan hidup manusia dalam daur waktu dan jagad yang dikeramatkan itu.
Maka Hari Raya Tahun Baru dan tak terkecuali Hari Raya lainnya, kesemuanya adalah dari dan mengarah kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian semua sarana atau wahana atau perangkat nilai yang dipakai untuk menjadi Hari Raya dan perayaannya, pada kenyataannya merupakan usaha yang mengikuti dan meniru-niru tata alam semesta (Imago Mundi).
Itulah sebabnya mengapa semua komponen yang terdapat di dalam Hari Raya merupakan rangkaian yang sanggup menampilkan formalitas ritual, liturgi, prosesi, keramaian, pertunjukan wayang dan berbagai macam hiburan lain-lainnya, tidak dapat dikatakan penampilan hura-hura saja. Tetap merupakan usaha untuk menerima kehadiran Yang Suci dan Keramat dalam keadaan utuh-seutuhnya serta selengkap mungkin. Tuhan menurut agama timur itu bukan kemiskinan, bukan kesedihan, tetapi merupakan kegembiraan, menghibur, suka cita dan lain sebagainya.
Jagad itu hidup dan berjiwa, bersama-sama dengan Daur Waktu merupakan dwi-tunggal; kedua-duanya itu menitis, berkembang dan mati pada akhir tahun dan lahir kembali pada awal tahun Baru; jagad dan daur waktu itu memang bertumimbal lahir (berinkarnasi) setiap tahun. Menurut persepsi Timur, jagad dan daur waktu diterima sebagai jabaran Tuhan, di mana Tuhan sendiri terlibat dan turut aktif berkarya di dalamnya. Ini bukan berarti bahwa persepsi Timur terlibat dalam memuja atau mengkultuskan alam. Langit dan Bumi itu dianggap suci bukan sebagai sekedar benda mati yang tak berjiwa. Langit dan Bumi dipuja, tepatnya karena nyata-nyata merupakan satu “Perwujudan Sakral”. Sebab, mereka tidak hanya tampil sebagai Langit dan Bumi in-natura saja, tetapi masih ada nilai-nilai yang menunjukkan adanya kesaktian yang dalam menampilkan kenyataan sangat luar biasa, yaitu rahim. Oleh karena itu dianggap sakti dan suci; penampilannya yang nyata, jelas dan langsung, selalu disertai perwujudan supranatural yang juga nyata, gamblang dan mudah dimengerti, dan memang seluruh alam semesta mempunyai kemampuan luar biasa dalam menjabarkan diri sebagai satu kesucian kosmik yang maha dasyat; Langit dan Bumi sebagai Jagad Raya dalam keseluruhannya dapat merupakan gerak perwujudan adanya kekuatan Tuhan Yang Maha Sakti dan Maha Rahim.

HARI RAYA TAHUN BARU
Hari Raya Tahun Baru merupakan pementasan kembali kegiatan Cosmogony Mythical; merupakan ritual yang menunjukkan lagi revolusi chaos-cosmos; satu perjuangan yang mengambil ruang, tempat dan daur waktu yang primordial dan asli (orisinil), dengan diakhiri oleh keberhasilan Tuhan dan para dewaNya. Maka, Tahun Baru sebetulnya menunjukkan satu kegiatan “perwujudan baru” Jagad Raya; itu berarti perbaikan kembali (restorasi) daur waktu primordial yang murni dan terjadi pada saat “Kejadian Besar” (pembabaran jagad). Inilah sebabnya mengapa Tahun Baru merupakan kesempatan untuk mengadakan kegiatan “pemurnian” baik yang dapat dilakukan dengan penyucian air putih, mau pun dengan pembakaran api merah. Maka, perayaan ini bukan pesta hura-hura, atau sekedar menghapus yang lama menyambut tahun yang baru, atau sekedar “pemurnian” saja. Tetapi lebih dari itu, seluruh nista noda, dosa, kesalahan, kesialan dan malapetaka, celaka dan bencana individu, keluarga, masyarakat dan alam lingkungan dapat dianulir seluruhnya.
Turutserta mengambil bagian dalam pesta, berarti: turutserta dalam usaha penghancuran chaos, nista, dosa dan lain-lain malapetaka, dan perjuangan untuk menerima kembali dunia baru yang tertib, teratur dan damai; membuat penerimaan baru, hubungan baru, kebangkitan baru, ikatan baru, pembebasan baru, pembabakan baru dan Firman baru; semua orang merasa terolah menjadi baru; mereka merasa lahir kembali dan dengan semangat baru mengawali kehidupan baru. Dengan setiap kali diadakan upacara Tahun Baru, mereka merasa lebih suci, lebih bersih dan murni, karena mereka telah merasakan dibebaskan dari dosa dan malapetaka, mereka telah menyatu dengan “saat kejadian yang mujizat” dan lagi pada saat yang sangat kuat dan sakti; sakti karena dihadiri oleh Tuhan, kuat karena babak waktu yang dimasuki merupakan “Karya Besar” yang pernah dan sedang diselesaikan lagi, yaitu “membangun Jagad Baru”. Secara simbolis mereka berada bersama-sama dengan kosmogoni, artinya turut hadir juga pada waktu dunia/jagad baru dibabarkan, bahkan turut berjuang meniru para dewata mengikuti kehendakNya dalam pembabaran dunia/jagad baru (manunggal).
Mudah dimengerti mengapa orang mengunjungi daur waktu yang romantis namun penuh dengan kesaktian itu, dan mengapa mereka selalu berusaha untuk secara berkala kembali lagi kepadanya. Ini disebabkan karena dalam daur waktu yang demikian itu, Tuhan tampil dengan kekuatan dan kuasaNya yang paling besar, merupakan perwujudan kosmogoni ke-illahian yang paling unggul, merupakan pula kegiatan paradigmatis (model pola) yang kreativitas dan kekuatannya berlimpah-limpah. Masyarakat Timur itu selalu haus akan kenyataan-kenyataan itu, mereka akan berikhtiar untuk mengambil tempat pada sumber yang paling dekat dengan perwujudan yang primordial, atau pada waktu dunia sedang tengah menitis (in statu nascendi).

PERAYAAN TAHUN BARU IMLEK
Beberapa hari sebelum Tahun Baru tiba, pada waktu Jagad Raya menunjukkan kekalutan dan para dewa sibuk memerangi kepunahan alam semesta, sambil membangun bahtera baru untuk menyelamatkan benih-benih kehidupan bagi Jagad Baru yang tertib dan tenteram, begitu pula manusia pun sibuk membersihkan rumah dari kekotoran dan memperbaiki (mereparasi) kerusakan agar semua yang kotor, rusak dan jelek turut hanyut terbawa oleh tahun lama yang sebentar lagi akan berakhir. Inilah yang namanya “Tuhan dan manusia berada di dalam satu kecocokan/keselarasan” atau ”Persatuan yang tepat antara Tuhan dan Manusia”.
Pekerjaan pembersihan itu biasanya dilakukan oleh seluruh anggota keluarga, di bawah pimpinan seorang nenek yang pada hari-hari itu bersikap ekstra cerewet, tidak mengenal kompromi, sedangkan pekerjaan harus dilakukan secara cepat dan kontinu tanpa boleh mengomel sedikit pun, apalagi protes.
Pekerjaan itu terdiri dari mengapur/mengecat dinding, membetulkan/ mengganti kerusakan walau pun tidak ada yang rusak, membersihkan prabot rumah tangga dan jika perlu dipindah-pindahkan untuk sementara agar tempat-tempat yang biasanya terlindung oleh prabot-prabot dapat juga turut dibersihkan.
Pembersihan seluruh rumah itu berjalan terus, dan pada tanggal 29 Imlek ditambah lagi dengan persiapan untuk sembahyang dan belanja untuk keperluan hari-hari Tahun Baru. Pada hari ke 30 bulan Imlek terakhir jam satu siang semua aktivitas pembersihan harus sudah berhenti, perhatian sekarang tercurah pada upacara akhir Tahun Lama, maka dipanggilkan arwah leluhur untuk diberi tahu bahwa Tahun telah berakhir dan anak cucu telah selamat berhasil melewati saat-saat yang penuh bahaya dan beberapa saat lagi akan mencapai Jagad Baru yang sejahtera.

DEWA DAPUR NAIK KE LANGIT/SURGA
Lebih kurang 1 (satu) pekan sebelum hari Tahun Baru, yaitu dengan “perjalanan ke langit Sang Dewa Dapur, Chao Kun Kong”. Pada tanggal 23/24 bulan ke 12 naiklah sang Dewa Dapur ini kelangit untuk melaporkan kepada Thian mengenai sepak terjang para penghuni rumah yang dihuninya. Sebelumnya seluruh keluarga penghuni rumah tersebut melakukan pembersihan lingkungan rumah di mana mereka tinggal. Banyak keluarga yang tidak menyapu dalam rumahnya pada hari Tahun Baru dan dua hari berikutnya, supaya rezekinya tidak ikut tersapu keluar. Dan masih ada tabu lainnya yang bertalian dengan perayaan Tahun Baru Imlek, yaitu tiga hari lamanya orang tidak boleh mengucapkan kata-kata yang kasar atau berkelahi, karena rezeki bisa hilang.
Tempat Dewa Dapur, ya, di dapur. Dari kedudukannya ini, dipercaya bahwa sang Dewa ini memperhatikan segala tindak tanduk para penghuni rumah tersebut. “Naik” nya Dewa Dapur dihantar dengan membakar batang dupa (hio) dan mempersembahkan sesajian. Upacara ini lalu ditutup sambil mengucapkan selamat jalan sambil membunyikan mercon. Merconlah yang pertama-tama membawa berita gembira tentang kedatangan “Kedamaian dan Kemakmuran”. Mercon mewakili api, lambang kehidupan dan kebangkitan, maka mercon merupakan juga penghalau kematian dan menyambut kehidupan, memecahkan kesunyian, meledakkan keramaian, menghapus kesedihan, mengisi kegembiraan, mengganti kegelapan dengan memancarkan penerangan dan cahaya.
Satu hari menjelang Tahun Baru tiba, orang Tionghoa melakukan “Sembahyang Tahun Baru”. Keluarga yang memelihara abu leluhur atau papan arwah leluhur mengadakan sembahyang di muka meja abu tersebut dengan rangkaian prosesi yang cukup panjang. Bagi yang tidak memelihara abu atau papan arwah leluhur, biasanya meletakkan sebuah meja menghadap pintu muka rumahnya dan di atas meja ini ditempatkan semua keperluan (uba-rampe) untuk keperluan sembahyang tersebut yang dilakukan dengan sederhana. Sembahyang Tahun Baru ini harus diselenggarakan dengan sebersih-bersihnya. Bukan saja bersih lahir, melainkan juga bersih batin.
Di atas meja sembahyang biasanya diletakkan kue tahun baru yang dinamakan “nien kao”, atau di Indonesia dikenal dengan nama “kue keranjang”, karena kue tersebut dibuat dalam keranjang-keranjang budar dengan berbagai macam ukuran. Kue ini dapat disimpan lama tanpa menjadi busuk.
Di Jakarta ada pula semacam uba rampe yang khas untuk Sembahyang Tahun Baru berupa Ikan Bandeng yang disatukan dengan kue keranjang.
Besok paginya hari pertama bulan pertama Tahun Baru Imlek, yang sebetulnya juga merupakan Hari Raya Kebangkitan; pulihnya kembali unsur api sebagai lambang kehidupan, maka membanjirlah sitat-sitat (kutipan/nukilan) yang ditulis di atas kertas merah yang kemudian menghiasi jendela dan daun pintu dengan tulisan, seperti :
Mentari terbit di atas Cakrawala,
Fajar menyingsing di ufuk Timur,
Negara tertib, aman sentosa,
Rakyat senang hidup makmur.

DEWA DAPUR TURUN
Pada hari keempat orang dapat mendengar suara petasan (mercon) yang meletus dan menggelegar, hal ini dikarenakan untuk menyambut Dewa Dapur yang kembali dari perjalanannya ke langit. Hari ini dinamakan “Hari Dewa Dapur Turun”.

SEMBAHYANG TUHAN ALLAH (KING THI KONG)
Pada tanggal 8 malam ada orang Tionghoa yang mengatur meja sembahyang di depan pintu rumahnya. Orang ini melakukan “Sembahyang Tuhan Allah”, untuk menghormati Giok Hong Siang Te, Kaizar Pualam, yang hari ulang tahunNya jatuh pada esok harinya tanggal 9 bulan 1 Imlek, di mana sembahyang ini biasanya selesai setelah larut malam.
Sebetulnya seluruh Hari Raya Imlek itu adalah perayaan “Lahirnya unsur api”. Di angkasa api diwakili oleh Sang Mentari (Matahari) dan Sang Rembulan (Bulan); pada Hari Tahun Baru dilambangkan dan diperagakan dalam bentuk mercon sebagai pemberi tanda pertama pulihnya kembali siklus daur waktu satu tahun kosmik. Kemudian, menyusul api lilin, api dupa, api dapur, api lampu/lampion dan kemudian api unggun untuk upacara injak api pada pesta Capgomeh.

PESTA CAPGOMEH
GOAN SIAO adalah sebutan lain dari Goan Meh, yang berarti Malam Goan. Kata GOAN ini singkatan dari Siang Goan. Dan Siang Goan ini berarti bulan pertama tanggal 15. Sehingga Goan Meh berarti Malam Tanggal 15 atau Cap Go Meh. Cap Go = 15; Meh = malam. Malam tanggal 15 di mana sang rembulan berbentuk bulat penuh sempurna (purnama).
Jika Tahun Baru Imlek sebagian besar merupakan pesta keluarga, yang upacaranya dilakukan di dalam masing-masing rumah, maka Capgomeh merupakan pesta masyarakat yang upacaranya dilakukan di luar bangunan gedung rumah dan di jalan-jalan, berpusat pada kelenteng (tempat ibadat agama, kepercayaan dan tradisi Tionghoa).
Di pulau Jawa pesta Capgomeh terkenal juga sebagai pesta tengloleng (tanglung); oleh orang Belanda disebut “Lampionen feest” dan memang pada malam hari itu terlihat banyak berbagai macam bentuk lampu yang terbuat dari kertas atau kain yang dibawa oleh anak-anak atau para remaja di sepanjang jalan. Rumah penduduk pun rata-rata juga turut memasangnya, dan digantung di depan rumah.
Pesta Capgomeh memang terdiri dari banyak bagian yang mempunyai kaitan erat dengan agama, teristimewa yang cukup penting dan sentral, yaitu bagian prosesi yang intinya terdiri dari tandu (”kio”) Toapekkong dan para Sinbing, diiringi oleh Liong (naga), Barongsay dan Samsi, dan menyusul karnaval dan balmasque (pesta bertopeng).
Tandu atau joli (kio) digotong, dikirab dan dibawa keliling untuk pesiar di dalam kota, melambangkan perluasan lingkungan dan radius Jagad Baru. Upacara kirab gotong Toapekkong adalah arak-arakan ritual yang bertujuan untuk menganulir atau meruwat alam lingkungan setempat untuk menolak bala, wabah, kesedihan dan lain-lainnya untuk diganti dengan kegembiraan, pembaharuan, kesuburan, ketertiban dan sebagainya.
Jaman dulu di kota Semarang upacara kirab sebagai arak-arakan ritual yang tampil di muka umum, minimal pasti ada seperangkat alat musik gamelan yang dimainkan (ditabuh) mengikuti jalannya upacara sambil turut dalam arak-arakan.
Pada umumnya semua penduduk di kepulauan Nusantara menyukai permainan tari Naga (Liong) dan merasa simpati karena arti perlambangnya juga baik yang mengarah kepada persatuan seperti mosaik dengan lingkungan yang ada, mengarah kepada persatuan bentuk terpadu dalam segala perbedaan sesuai dengan yang diserukan oleh Empu Tantular yaitu “Bhineka Tunggal Ika”.
Gagasan gambaran Naga adalah pesan suci agar supaya manusia mengerti cara hidup damai dalam segala perbedaan. Damai antar manusia, damai dengan lingkungan, damai dengan diri sendiri. Karena semua perbedaan itu berasal dan kembali mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

LIONG (Naga) adalah binatang fabel, merupakan benih-benih yang diangkut dan diturunkan untuk turut memberi kesuburan pada Jagad Baru. Sepasang Naga yang biasa terdapat di atas bangunan Kelenteng adalah sepasang naga jantan dan naga betina yang bertanduk menjangan, berbadan ular, bersisik ikan, bercakar garuda, bertapak macan, berkumis kucing, berjenggot kambing, berperut katak, bermoncong buaya, dan bertaring singa. Naga adalah Avatar yang selalu muncul dalam pembuatan Jagad Baru yang ”tata-titi-tenterem, gemah ripah lohjinawi, kerta raharja”. Naga bernafaskan api merah dan air putih, dua unsur kehidupan yang saling bertentangan tetapi saling memerlukan. Naga dikatakan bangkit dari air putih dan timbul, bangkit mengejar mentari merah, melambangkan chaos menjadi kosmos, dan melambangkan pula “kehendak Tuhan dalam mengatur masyarakat dan keluarga”.

BARONGSAY merupakan makhluk fabel yang tampil dengan membawa tugas suci. Makhluk yang merupakan Avatar ini sebetulnya juga merupakan Utusan. Ia tampil dan muncul dari dasar sungai sambil membawa kitab Pakua untuk mengajarkan rahasia hukum alam semesta kepada manusia agar supaya dapat bebas dari kebodohan dan mendapatkan pengetahuan. Barongsay berarti kuda naga berkepala singa yang Guru. Ba/Be (Ma) berarti kuda, Long (Liong/Lung) berarti naga, sedangkan Say berarti singa/(Tze) berarti Guru.

SAMSI adalah semacam singa yang harus dimainkan dengan tiga kaki, kaki keempat selalu tidak boleh menyentuh tanah. Seperti Barongsay, Samsi juga dimainkan oleh dua orang. Di atas batok kepalanya selalu dilukiskan huruf ONG (WANG) yang berarti “Raja”. Terdiri dari 3 (tiga) garis horisontal, atas-tengah-bawah, dan garis keempat vertikal sebagai penghubung. Tiga garis horisontal melambangkan Langit, Bumi dan Manusia, atau sorga dunia masyarakat, garis keempat melambangkan “Satu Hukum Tuhan”.

API UNGGUN yang juga merupakan salah satu atraksi khas agamis ini diselenggarakan di depan klenteng. Api dibuat dari kayu atau arang. Di atas api itu lalu orang-orang yang intrance boleh berjalan, tetapi orang yang berjalan di atas api itu tidak selalu intrance (biasa disebut tangsin/tatung). Jika air yang beberapa hari sebelum Tahun Baru dipakai untuk menyucikan dan menyuburkan, api juga dipakai untuk memurnikan dan menumbuhkan. Api membakar semua sisa kekotoran dosa, nista, kesalahan dan sebagainya yang tidak dapat dicuci oleh air.
Sebelum acara prosesi di mulai, masih ada satu upacara simbolis yang cukup penting, yaitu upacara membanting ular. Upacara ini melambangkan “penghancuran terhadap kekalutan (chaos)”. Belakangan ini, yang dibanting bukan ular sesungguhnya tetapi boneka ular yang dibuat khusus untuk keperluan itu, dan upacara ini saat ini jarang dilakukan.
Perayaan itu ditutup dengan membanjirnya rakyat dari semua golongan, baik yang berjalan-jalan saja untuk menonton Lampu (lampion/tengloleng/tanglung), maupun untuk mengikuti karnaval atau prosesi, atau pun berkaul atau memohon enteng jodoh dengan melintasi tujuh jembatan atau ngibing di jalan-jalan sambil menyaru dengan topeng (balmasque). Di jalan-jalan, tua, muda berbaur merayakannya dengan berombongan. Biasanya tiap rombongan mengurung diri dalam lingkungan tali agar supaya tidak ada ”anggotanya” yang kesasar dan hilang dalam lautan manusia di pesta Cap Go Meh itu. Dalam pesta ini biasanya orang-orang menyamar dengan menggunakan pakaian yang aneh-aneh atau memakai topeng. Pria memakai pakaian wanita, wanita berdandan seperti pria. Orang menyamar dalam pesta Capgomeh ini katanya untuk “membuang sial”. Dan ada yang berpendapat, apabila orang sudah mulai berbuat demikian, maka orang itu harus melakukannya berturut-turut hingga sampai 7 kali, jadi harus menyamar pula selama 6 kali perayaan Capgomeh berikutnya. Yang wanita berjalan-jalan dengan membawa beberapa batang dupa (hio) dan mencari 7 buah jembatan. Pada tiap jembatan mereka mengibas-kibaskan pakaiannya agar semua kesialan yang ada dalam dirinya hilang/dibuang dan membakar batang dupa. Hal ini dianggap mendatangkan kebaikan.
Khususnya pada perayaan Capgomeh di mana Sang Rembulan untuk pertama kalinya mencapai kesempurnaan, hampir semua orang Tionghoa khususnya di Jawa Tengah menikmati makanan Lontong Capgomeh (opor Capgomeh), yaitu makanan Jawa yang dibuat dan dihidangkan khusus untuk malam Capgomeh.

PAGELARAN WAYANG KULIT
Kelenteng-kelenteng di Nusantara sudah lama menghadirkan seni budaya asli pada berbagai macam pesta-pesta keagamaan. Baik yang terbuka untuk umum mau pun tidak. Di Jawa Tengah, Jawa Timur dan pulau Madura teristimewa pada Hari Raya Tahun Baru Imlek, kelenteng pada umumnya mengikutsertakan unsur seni budaya asli setempat, dalam hal ini terutama adalah pagelaran wayang kulit yang juga diketahui oleh umat kelenteng sebagai sarana yang sakral. Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di kelenteng telah menjadi adat kebiasaan atau menjadi bagian dari tradisi peribadatan Kelenteng di pulau Jawa dan Madura.
Demikianlah pesta agama yang sudah merakyat itu, yang sebetulnya tidak lain adalah, memohon terbentuknya Jagad Baru yang tata-titi-tenterem, gemah-ripah, loh-jinawi, kerta raharja, dan merupakan cita-cita manusia yang waras.

Thian adalah “rahasia kehidupan yang paling agung, rahasia dari rahasia, gerbang rahasia semua kehidupan”. Ia memberi tanpa batas baik kepada alam semesta mau pun kepada manusia. Karena itu, Ia disebut sebagai “Bunda Jagad Raya”. Ia adalah kaidah, irama dan kekuatan pendorong dalam seluruh jagad raya, dan azas penata yang berada di belakang semua yang ada.

SIN CHUN KIONG HI, THIAM HOK THIAM SIU, BAN SU JI I
1 Cia Gwee 2560

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut